MODEL DAN PERAN GURU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI DETERMINAN KEBERHASILAN PROSES PEMBELAJARAN

I. Pendahuluan

Secara kuantitatis pembangunan pendidikan di Indonesia, khususnya jenjang pendidikan dasar dan sekolah menengah, menunjukkan keberhasilan yang impresif. Utamanya sejak diluncurkan kebijakan Inpres SD pada awal dekade 1970-an sampai digulirkannya kebijakan wajib belajar pendidikan 9 tahun . sayangnya keberhasilan kuantitatis yang mengesankan itu belum dibarengi dengan keberhasilan yang bersifat kualitatif.

Penanda ini antara lain dapat dipelajari dalam laporan peringkat HDI tahun 1996 Indonesia peringkat 102 dari 174 negara, tahun 1999 peringkat 105 dari 174 negara, tahun 2000 peringkat 109 dari 174 negara. Begitu juga dalam prestasi belajar yang dipantau oleh International Association for the Evaluation of Education Achievment di bidang membaca SD, Indonesia berada di urutan 26 dari 27 negara; kemampuan Matematika siswa SMP ada diurutan ke-34 dari 38 negara; kemampuan di bidang IPA untuk SMP ada diurutan ke-32 dari 38 negara.

Ada dua alasan klasik yang sering dikemukakan untuk menjelaskan capaian kualitas pendidikan yang kurang menggembirakan itu, yaitu tingkat kesejahteraan yang berkaitan dengan kompetensi guru dan ketimpangan dalam persebaran penugasannya, baik dalam arti disparitas kuantitatif maupun ketidaksesuaian bidang keahlian dengan tugas. Kedua alasan tersebut memang benar sehingga perlu diupayakan pengatasannya oleh berbagai pihak. Menurut DYP Sugiharto dalam makalah yang berjudul Memformulasikan Kerangka Pikir tentang Strategi Pembelajaran dan manajemen Sekolah ada alasan yang krusial yang menyebabkan pembelajaran kurang bermakna, yaitu strategi pembelajaran di sekolah masih terpaku pada paradigma penerusan informasi yang hanya melibatkan berpikir tingkat rendah (low cognitive skills) yaitu menghafal.

Kondisi pembelajaran di sekolah terpuruk dalam keadaan “kurang gizi” yang antara lain ditandai oleh siswa tidak senang belajar, tidak mau belajar, tidak tahu mau belajar apa, tidak memiliki hasil belajar yang memadai, dan tidak dapat menggunakan hasil belajar yang mereka peroleh. Lingkungan sekolah dan pengajaran tidak berhasil membawa siswa ke dalam suasana belajar dengan motivasi yang tinggi sehingga menciptakan kondisi belajar yang benar-benar bermanfaat (meaningful learning). Kegiatan belajar justru menjadi beban bagi siswa sehingga mereka berusaha menjauhinya atau mencari jalan pintas dengan menyontek atau cara-cara lain yang tidak benar.

Kebijakan pemberlakuan KBK yang kemudian ditindaklanjuti dengan KTSP sebenarnya cukup menjajanjikan, karena menuntut perubahan kerangka berpikir dalam penerapannya sehingga benar-benar membuahkan penguasaan kompetensi yang ditargetkan. Namun kenyataannya kerangka pikir penerus informasi masih saja tetap melekat seperti kotak hitam yang misterius.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pengembangan kemandirian peserta didik sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan fisik, psikis, dan emosinya dalam suatu lingkungan interaksi dengan orang dewasa (Rudini, 1994: 1). Kenyataan di lapangan bukannya kemandirian yang dihasilkan tetapi justru peserta didik yang telah tamat di satuan pendidikan tidak menghasilkan lapangan pekerjaan. Lulusan satuan pendidikan justru mencari lapangan pekerjaan bahkan sangat ironis meminta-minta pekerjaan.

Fenomena ini terjadi karena beberapa faktor. Satu di antara faktor penyebab lulusan satuan pendidikan tidak berdaya menghadapi persoalan hidup adalah rendahnya kualitas pendidikan yang dihasilkan olah satuan pendidikan. Menurut Prof. Dr. Dandan Supratman, M.Pd. (2007: iii) persoalan pokok yang dihadapi masa depan pendidikan adalah persoalan mentalitas pengelola kependidikan dalam menghadapi: keberagaman watak, rendahnya tingkatkatan kreatif, moral tak punya malu, daya juang hilang, motivasi berprestasi tipis, toleransi lupa, kerjasama malas, santung dianggap tak perlu, anutan ala primitive, gaya hidup konsumtif, yang utama dipuja adalah duit, kendali bangsa: Pancasila tinggal nama.

Pendidikan nasional menurut UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pembelajaran bahasa Indonesia kelihatannya masih jauh dari harapan. Indikatornya adalah setelah menyelesaikan pembelajaran di satuan pendidikan respon siswa menunjukkan ketidaksenangannya belajar bahasa Indonesia. Siswa merasa bosan yang diajarkan hanya itu-itu saja. Metode mengajar dari guru juga monoton. Materi pembelajaran tidak ada hubungannya dengan dunia yang dibutuhkan oleh siswa itu sendiri. Pada akhirnya pembelajaran kehilangan arah dari segi guru, kontens, dan makna.

II. Pembelajaran Bahasa

Pengajaran merupakan bagian dari dunia pendidikan yang mempunyai fungsi strategis. Sistem pengajaran yang baik dan tepat akan menjamin tercapainya tujuan pendidikan, yaitu membentuk manusia cerdas, terampil, dan berbudi luhur (Satmoko, 1989:96). Demikian sebaliknya tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara sempurna bahkan gagal akibat dari sistem pengajaran yang tidak baik.

Pengertian pembelajaran menurut Hamalik dalam bukunya Kurikulum dan Pembelajaran ( 2001: 57) adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Unsur material meliputi; buku-buku, papan tulis, kapur, fotografi, slide, film, audio, dan radio tape. Fasilitas dan perlengkapan terdiri dari ruang kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer (multimedia). Unsur prosedur meliputi; jadwal, metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian, dan sebagainya.

Menurut Mulyasa (2004: 100) pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut ada dua yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang datang dari dalam diri individu. Faktor eksternal adalah adalah faktor yang datang dari lingkungan. Tugas guru yang utama adalah mampu mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku peserta didik.

Belajar dan mengajar adalah dua jenis kegiatan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan erat dalam suatu situasi. Belajar itu biasanya diartikan khusus kepada keaktifan siswa. Sedangkan mengajar itu dikhususkan pada keaktifan guru (Siahaan, 1987: 2). Jadi proses belajar mengajar adalah proses siswa belajar yang berinteraksi dengan kegiatan guru mengajar.

Kegiatan pembelajaran bukan sekadar kegiatan mentransfer pengetahuan pada siswa. Siswa bukanlah objek tetapi subjek. Peroses pembelajaran hendaknya memungkinkan terjadinya proses interaksi dan adanya pengalaman belajar kepada siswa secara optimal. Siswa tidak hanya penerima informasi tetapi juga pencari informasi untuk disampaikan kepada pihak lain.

Kegiatan pembelajaran yang interaktif tersebut bermaksud mengantarkan siswa mencapai tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam buku Interaksi Belajar Mengajar yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Menengah (2003: 7) interaksi pembelajaran yang baik apabila sumber lain (media) mengontrol penyajian informasi secara lengkap. guru berperan dalam merancang, mengembangkan, dan menilai media atau menyeleksi media yang terintegrasi dengan tujuan pembelajaran, metode yang dipilih. Pembelajaran yang baik menggunakan pola multiarah.

Menurut Mulyasa (2004: 101) proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruh peserta didik terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosial dalam proses pembelajaran. Selain itu peserta didik menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya pada diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri peserta didik seluruhnya. Proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata menghasilkan output yang banyak dan bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat dan pembangunan.

Hakikat pembelajaran pada prinsipnya tidak akan terlepas dari komponen-komponen pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan uraian hakikat pembelajaran, unsur-unsur yang terlibat dalam pembelajaran menulis adalah:

1. guru yang berkualitas;

2. siswa/peserta didik

3. kurikulum

4. perencanaan

5. pendekatan

6. media

7. lingkungan

8. sumber/ bahan ajar

9. evaluasi untuk mengetahui hasil

Keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan dengan harmonisasi unsur-unsur tersebut. Adanya kepincangan pada salah satu unsur akan menghambat tujuan yang ingin dicapai.

Membelajarkan bahasa Indonesia berbeda dengan membelajarkan kompetensi nonbahasa. Perbedaannya adalah membelajarkann yang nonbahasa kecenderungannya siswa belum menguasai materi tersebut. Sebaliknya mengajarkan bahasa Indonesia menghadapi peserta didik yang sudah dapat berbahasa Indonesia. Sangat lazim terdengar ucapan “untuk apa belajar bahasa Indonesia?” ucapan ini dapat menyebabkan kurang bersemangatnya peserta didik untuk belajar bahasa Indonesia.

Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah membantu peserta didik mengembangkan kemampuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun secara tulis (Purwo, 1997: 13). Kemampuan berkomunikasi yang mendasar ialah kemampuan menangkap makna dan pesan, termasuk menafsirkan dan menilai, serta kemampuan untuk mengekspresikan diri dengan bahasa.

Peserta didik diharapkan dapat mempertajam kepekaan perasaan dan meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar. Sasaran yang dituju bukanlah mengajarkan sesuatu supaya apa yang diajarkan itu dapat diuji secara objektif. Peserta didik tidak hanya dibekali dengan kemamuan memahami dan menggunakan kalimat melainkan memahami dan menggunakan kalimat dalam pelbagai konteks komunikasi.

Hal ini sesuai dengan amanat peraturan Menteri Pendidikan Nasioanal nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi. Mata pelajaran bahasa Indonesia yang menjadi bagian dari isi peraturan tersebut mempunyai tujuan sebagai berikut:

Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.

Lebih lanjut dalam peraturan tersebut juga mencantumkan beberapa standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia., di antaranya standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan sbb.

1. peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri;

2. guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar;

3. guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya;

4. orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan daan kesastraan di sekolah;

5. sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia;

6. daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

Tujuan yang hendak dicapai atau dituju dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah sbb.

1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis

2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara

3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan

4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial

5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa

6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Untuk mencapai kemampuan itu siswa perlu dipajankan (exposed) pada aneka bentuk teks lisan maupun tulis. Dalam pembelajaran itu peserta didik harus banyak membaca. Bacaan tersebut dapat disediakan guru maupun yang berasal dari peserta didik. Bahan yang disusun dan dikembangkan perlu mempertimbangkan minat siswa dan tingkat perkembangan usia. Kegiatan ini dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi, juga akan meningkatkan perkembangan daya nalar dan daya kreatif siswa.

III. Model Pembelajaran

Guru dalam mengajarkan bahasa ada dua model yaitu menjelaskan sesuatu kepada peserta didik, melatihkan sesuatu kepada siswa, dan melibatkan siswa di dalam suatu kegiatan berbahasa. (Purwo, 1997: 19) Model pembelajaran ini mempunyai berbagai dampak bagi siswa. Pembelajaran dengan model yang pertama, yaitu guru menjelaskan sesuatu kepada siswa akan menyebabkan siswa lupa. Potensi untuk lupa akan terjadi karena guru tidak memberikan pengalaman belajar kepada siswa.

Pembelajaran dengan model yang kedua, yaitu guru melatihkan sesuatu kepada siswa menuntut siswa tekun mengulang-ulang mengerjakan bahan ajar sampai berkali-kali. Apabila siswa setelah diberi latihan berkali-kali masih saja belum bisa, guru terus saja melatihkan bahan yang sama itu. hasil yang diharapkan dapat diraih dari latihan secara bertubi-tubi ini ialah supaya siswa akhirnya dapat menguasai bahan yang disiapkanguru. Bahan yang disiapkan oleh guru secara rapi dan sistematis itu, melalui banyak kali latihan, akhirnya akan dapat diingat dan melekat di benak siswa. Namun kegiatan latihan yang bertubi-tubi seperti ini dirasa membosankan tidak hanya bagi siswa tetapi juga bagi guru.

Guru yang melibatkan siswa untuk melakukan kegiatan berbahasa hanyalah berperan sebagai fasilitator pembuka jalan atau penyulut api saja bagi suatu kegiatan tertentu. Siswalah yang aktif menjalankan kegiatan ini. Model ini akan membawa dampak yang bagus pada diri siswa, yaitu siswa lebih memahami, mendalami, dan mampu menerapkan dalam berbagai situasi. Hal ini terjadi karena siswa diberi pengalaman belajar dan ruang yang sangat luas untuk mengekspresikan pembelajaran.

Dalam model guru melibatkan siswa untuk melakukan kegiatan berbahasa tidak menenkankan pada hasil kegiatan tetapi lebih memntingkan proses mengalami sendiri kegiatan berbahasa tersebut. Guru tidak terpaku pada bahan yang dipersiapkan sebelumnya tetapi siap untuk menyesuaikan diri dengan minat kebutuhan siswa dan keadaan kelas. Dengan model pembelajaran yang ketiga ini dirasa pembelajaran lebih berhasil dan berarti bagi siswa dalam mengembangkan segala kemampuan dalam dirinya. Model ini lebih dikenal dengan pendekatan komunikatif.

IV. Peran Guru

Dengan bentuk pembelajaran komunikatif yang diberikan siswa pembelajaran tidak berpusat pada guru. Siwa dilibatkan secara penuh dalam pembelajaran berbahasa. Bentuk seperti ini sudut pandang diambil dari segi siwa, bukan dari segi guru. Penyampaian bahan, penetapan teknik mengajar misalnya dilakukan bukan dengan berpijak dari sudut pandang guru, melainkan dari sudut pandang siswa. Siswa merupakan pusat atau kiblat, dan arah itu segala pertimbangan guru ditetapkan.

Menurut Bambang Kaswanti Purwo menempatkan siswa berarti memperhitungkan bahwa masing-masing siswa memiliki potensi dan latar belakang yang berbeda-beda. Menempatpusatkan siswa berarti mempertimbangkan bahwa memberi siswa sesuatu tidak senantiasa berarti bahwa yang diberikan itu cocok dan dapat diterima oleh yang diberi. Misalnya guru dapat dan memang harus mempersiapkan apa yang akan disajikan di kelas. Akan tetapi di dalam pelaksanaannya di kelas guru harus siap untuk tidak terlalu ketat mengikuti rancangan mengajarnya. Guru harus siap mengubah rencana mengajarnya begitu melihat rancangan tidak seuai dengan situasi siswa saat itu.

Yang dititikberatkan guru bukan mengejar habisnya bahan pelajaran melainkan sudahkah kompetensi yang diberikan kepada siswa sudah tercerna dengan baik. Untuk itu diperlukan kepekaan guru untuk membaca kebutuhan, kemampuan, dan daya tangkap siswa, lalu berusaha untuk memenuhi.

V. Penutup

  1. Simpulan

Pembelajaran yang bermutu dan berkesan sepanjang hayat oleh siswa adalah pembelajaran yang berarti bagi pembelajarnya, yaitu siswa. Guru sebagai manusia dewa harus memperlakukan siswa dengan baik. Kebutuhan siswa sangat perlu diketahui oleh guru. Berhasiltidaknya sebuah pembelajaran tergantung dari pendekatan yang digunakan guru, materi/ kompetensi yang dibutuhkan oleh siswa, dan sarana prasarana untuk pembelajaran.

  1. Saran

Guru sebelum melakukan tugas dalam pembelajaran sebaiknya menanyakan atau menginventaris kebutuhan siswa. Kebuthan siswa inilah yang akan menjadi bagian analisis guru dalam membuat rencana pembelajaran. Kebermaknaan dalam pembelajaran perlu dionjolkan agar pembelajaran berbahasa dapat berjalan dengan baik. Selain itu pembelajaran diarahkan pada suasana yang menggembirakan.

DAFTAR PUSTAKA

Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.`

Mustakim. 2007. Keefektivan Model STAD dan Jigsaw pada Pembelajaran Menyunting Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang Tahun Pelajaran 2006/2007.Tesis. Semarang: Program Pascasarjana UNNES.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasioanal nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi

Purwo, Bambang Kaswanti. 1997. Pokok-Pokok Pengajaran Bahasa dan Kurikulum1994: Bahasa Indonesia

Rahadi, Aristo. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.

Rudini dkk.. 1994. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II: Kurikulum untuk Abad ke-21. Jakarta: PT Grasindo.

Sadiman, Arief S. 1986. Media Pendidikan:Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: CV Rajawali.

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana

Subana, M. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia: Berbagai Pendekatan, +Metode Teknik, dan Media Pengajaran. Bandung: Pustaka Setia.

Sugiharto, DYP. Memformulasikan Kerangka Pikir tentang Strategi Pembelajaran dan Manajemen Sekolah. Makalah. Semarang. UNNES.

Suprayekti. 2003. Interaksi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdiknas.

Supriadi, Dedi. 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.

Tim Pengembang MKDK IKIP Semarang. 1989. Psikologi Belajar. Semarang: IKIP Semarang Press.

Winarno. 2003. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.

Tinggalkan Balasan ke erwan68 Batalkan balasan